WahanaNews-Pakpak Bharat | Alat pengering jagung yang bersumber dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Pakpak Bharat tahun 2021, tidak berfungsi sebagaimana dikatakan saat disosialisasikan.
Saat sosialisasi disebut, alat itu dapat mengeringkan jagung dikisaran 500 kilogram hingga 1 ton, sekali pemakaian. Proses cepat, biaya irit. Namun faktanya, tidak demikian. Petani pun kecewa.
Baca Juga:
Ridwan Kamil Janji Bereskan Masalah Tempat Ibadah dan Jamin Keadilan Sosial di Jakarta
Kekecewaan itu diungkapkan salah seorang penerima alat, Rinto Solin warga Desa Aornakan I Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut Kabupaten Pakpak Bharat, dikonfirmasi WahanaNews.co, Jumat (23/9/2022).
"Mengeringkan 200 kilo pun sulit. Kadar air tidak dapat diperoleh sesuai permintaan pabrik (pembeli)," kata Rinto.
Ditambahkan, biaya operasional juga mahal. Sekali beroperasi menghabiskan 9 tabung gas elpiji 3 kilo, ditambah biaya tenaga dan listrik.
Baca Juga:
Gelar Naker Expo, Kemnaker Sediakan Puluhan Ribu Lowongan Pekerjaan di Tiga Kota
Terkait fakta itu, Rinto mengatakan masyarakat penerima sudah pernah melaporkannya ke pihak terkait seperti Dinas Pertanian, Inspektorat bahkan kepolisian. Namun belum ada tindak lanjut.
Jonner Nadeak [Foto: WahanaNews/ist]
Terpisah, Jonner Nadeak, penggiat LSM ICW Pakpak Bharat dalam keterangan pers diterima WahanaNews, meminta kepada semua pihak yang terlibat dalam pengadaan alat dimaksud, agar bertanggungjawab secara hukum.
"Kita ini semua adalah anak bangsa dan oleh karena itu harus taat dan tunduk kepada hukum. Kami dari ICW tidak pernah membenci seseorang atau kepada siapapun juga dalam kaitannya dengan dugaan korupsi pengadaan alat pengering jagung itu. Tetapi kami tidak dapat menerima perbuatan yang melanggar hukum," kata Jonner.
Menurutnya, dalam pengadaan alat pengering jagung itu diduga telah merugikan keuangan negara, oknum tertentu memperkaya diri sendiri.
"Pada faktanya alat pengering dan pemipil jagung yang diberikan kepada masyarakat sebanyak 29 unit dengan merealisasikan anggaran sebesar Rp 1,6 miliar, tidak sesuai harapan rakyat karena tidak dapat digunakan secara sempurna," ujar Jonner.
Penyebabnya, kata Jonner, diduga karena kesepakatan yang dibuat antara penyedia dan pengguna barang/jasa pemerintah dalam perjanjian pemborongan tidak dipenuhi secara benar dan baik.
Jonner pun meminta kepada semua pihak agar mempercayakan penanganan proses hukumnya kepada kepolisian, hingga terdapat kepastian hukum. [gbe]