WahanaNews-Pakpak Bharat | Sejumlah pemerhati budaya Pakpak, memasang spanduk kampanye pelestarian budaya Pakpak di sejumlah titik di Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara.
Pemasangan spanduk, dimaksudkan sebagai dukungan semangat dan edukasi kepada masyarakat, melestarikan dan meningkatkan rasa cinta terhadap peninggalan leluhur sebagai jati diri dan identitas Pakpak.
Baca Juga:
Dua Kecamatan ‘Clear’ Rekapitulasi, Ketua KPU Kota Bekasi Klaim Pleno Terbuka Kondusif
"Sebagai bentuk dukungan moral, kami selaku pemuda yang saat ini tinggal di perantauan berpartisipasi untuk menjaga serta mempertahankan adat dan budaya kita suku Pakpak yang sangat kita cintai," kata Jon Banurea, salah satu inisiator kegiatan itu kepada WahanaNews.co, belum lama ini.
Disebut, beberapa pemerhati telah melakukan rembuk dan diskusi melalui sambungan telekomunikasi terkait ide pemasangan 30 spanduk itu.
Mereka diantaranya, Melisa Padang yang saat ini tinggal di Medan dan aktif menjadi bagian dari tim ahli cagar budaya Provinsi Sumut.
Baca Juga:
Mulai Minggu Ini, Deretan Film Blockbuster Big Movies Platinum GTV Siap Temani Akhir Tahunmu!
Jundri R. Berutu berprofesi advokat dan konsultan hukum di Jakarta. Henry Berutu, anggota TNI di Indonesia bagian Timur. Sahala Solin berprofesi sebagai dosen di salah satu Universitas Negeri di Bandung serta Elohansen Padang dosen di Universitas Papua.
Dikatakan Jon, saat ini masyarakat suku Pakpak dihadapkan dengan persoalan budaya yang sedang terdegradasi, dimana sedang mengalami banyak perubahan pergeseran budaya yang mulai berbeda dengan ajaran dan kebiasaan para leluhur.
Hal itu dapat dibuktikan dalam berbagai fenomena budaya, baik melalui penggunaan bahasa, tradisi lisan, adat-istiadat, sejarah asal-usul Kuta yang disebut Lebbuh dalam bahasa Pakpak, marga-marga Pakpak dan masih banyak lagi.
Dicontohkan, pergeseran budaya terjadi pada saat melaksanakan upacara adat pernikahan (merbayo). Kerap menjadi sorotan publik dimana salah satu mempelai bermarga Pakpak dan upacara pernikahan dilaksanakan di tanah Pakpak (Suak Simsim), namun saat upacara pelaksanaan adat tidak lagi menggunakan adat-istiadat Pakpak.
"Hal ini tentu menjadi fokus perhatian kami selaku pemuda suku Pakpak di perantauan sekaligus mempertanyakan apa penyebab situasi dan kondisi seperti ini dapat terjadi, yang seakan pemilik hajatan tidak menghargai dan tidak ingin melestarikan adat-budayanya sendiri atau merasa malu dengan budaya sebagai jatidirinya," sebut Jon.
Ditambahkan, perlu ditelaah apa penyebab utama. Apakah karena pengaruh zaman yang serba canggih ini sehingga masyarakat tidak dapat beradaptasi atau memposisikannya ataukah karena faktor trend atau lainnya.
"Tentu perlu dilakukan pengkajian dan upaya serius agar tidak sampai terulang kejadian kehilangan budaya dan bahasanya seperti beberapa fenomena yang telah banyak terjadi di nusantara khususnya daerah Indonesia bagian Timur," ujar Jon.
Jon memaparkan, masyarakat Suku Pakpak tersebar luas di Propinsi Sumatera Utara dan Aceh. Suku Pakpak dibagi menjadi lima wilayah yang disebut si Lima Suak.
Pada dasarnya, mengalami persoalan yang sama, terjadinya pergerakan dan degradasi budaya. Namun dari kelimanya, menurut beberapa peneliti USU, Suak Sim-sim masih tergolong lebih cenderung setia dalam penggunaan bahasa, dan adat-istiadat Pakpak.
"Dibutuhkan dukungan dari semua pihak untuk menggapai cita-cita luhur ini, baik dari kalangan masyarakat, pemerintah dan perantau, kita tidak ingin menjadi penonton di kampung halaman kita sendiri, bahkan dikucilkan nantinya," sebut Jon.
"Kami selaku pemuda Pakpak di perantauan berharap kampung halaman kita ini maju dalam sektor pembangunan sumber daya manusia dan infrastruktur serta berkemajuan dalam kelangsungan budaya sebagai identitas suku Pakpak. Karenanya mari bergandengan tangan menuju kininduma," ujar Jon mengakhiri. [gbe]