Pakpak.WahanaNews.co, Jakarta - Presiden Joko Widodo mengumpulkan ratusan penjabat kepala daerah, Gubernur, Bupati dan Walikota di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (30/10/2023).
Dalam pertemuan itu, salah satu arahan Jokowi meminta para penjabat kepala daerah untuk menjaga netralitas dalam perhelatan Pilpres 2024.
Baca Juga:
Kenang Ryanto Ulil, Brigjen TNI Elphis Rudy: Saya yang Antar Dia Jadi Polisi, Kini Antar ke Peristirahatan Terakhir
Namun demikian menjelang pilpres 2024 ini, pengumpulan 197 Pj kepala daerah tersebut memicu beragam spekulasi politik dari berbagai pihak.
Salah satunya diungkapkan eks tim pembela hukum Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019 lalu, Sirra Prayuna. Ia menduga kuat ada kepentingan politik pemenangan Pilpres dalam pengumpulan para Pj kepala daerah tersebut.
"Saya kira dengan situasi politik Pilpres hari ini, kalau ditarik dalam konteks politik elektoral, kemungkinan-kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi. Kekuasaan akan di kapitalisasi untuk memenangkan salah satunya pasangan Capres-cawapres," ujar Sirra Prayuna kepada wartawan, Senin (30/10/2023).
Baca Juga:
OTT di Bengkulu, KPK Amankan 8 Pejabat dan Sita Sejumlah Uang Tunai
Mantan Ketua Ikatan Alumni (IKA) Unram itu menyebut, salah satu indikasi pengumpulan ratusan PJ Gubernur, Bupati dan Walikota se Indonesia itu mengarah pada kepentingan politik pemenangan Pilpres 2024.
Dapat dilihat dari pernyataan Presiden Jokowi yang menegaskan bahwa dia memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan pada PJ Kepala daerah tersebut kapanpun.
"Bahasa keras Presiden hari ini kepada para PJ Gubernur dan Bupati/Walikota itu menunjukkan bahasa otoriter. Presiden mengatakan saya punya hak untuk mengawasi setiap hari, padahal fungsi koordinasi PJ kepala daerah itu ada di Mendagri. Tapi kali ini Jokowi turun langsung, sehingga patut diduga," jelasnya.
Lebih lanjut disebutkan Sirra, indikasi lainnya Jokowi akan menggunakan seluruh alat kekuasaan negara untuk pemenangan Pilpres 2024 juga terlihat dari beberapa rentetan sikap cawe-cawe para pejabat negara di kementrian dan lembaga, yang berperan secara aktif untuk pemenangan salah satu pasangan Capres dan Cawapres.
"Fakta lainnya sejumlah pejabat negara di Kementerian terlibat cawe-cawe secara langsung untuk Pilpres ini. Bagaimana peran Mensesneg yang aktif meminta parpol segera deklarasi. Kemudian bagaimana Kominfo digunakan sebagai instrumen untuk mengontrol alur komunikasi terhadap pihak-pihak yang dianggap berseberangan, dan sejumlah pejabat di kementrian lain ikut menggalang dan mengorganisir untuk pemenangan salah satu calon," papar Sirra.
Sebagai orang dekat dalam lingkaran Jokowi dengan menjadi tim pembela hukum pada Pilpres 2014 dan 2019, Sirra Prayuna mengaku kecewa dengan langkah politik Jokowi saat ini.
Disebut, sudah melenceng jauh dari semangat reformasi untuk membangun negara demokratis. Dengan memaksakan anaknya menjadi Cawapres lewat tangan Mahkamah Konstitusi (MK), Jokowi terbukti memiliki ambisi untuk membangun politik dinasti.
"Saya melihat dan merasakan Jokowi hari ini diujung kekuasaannya sudah sangat melenceng jauh dari semangat reformasi. Mulai dari dugaan permintaan tiga periode, perpanjangan masa jabatan, dan fakta hari ini memaksakan anaknya nyapres. Itu satu rangkaian dari pikiran Jokowi untuk terus berkuasa dengan membangun politik dinasti," jelas Sirra.
Melihat besarnya potensi pengguna alat-alat kekuasaan negara yang sedang di pegang Jokowi untuk pemenangan salah satu pasangan Capres-cawapres, Sirra Prayuna lantas mendorong penguatan gerakan masyarakat sipil untuk melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap segala bentuk potensi pelanggaran sendi-sendi demokrasi oleh penguasa.
"Karena itu Civil Sociaty harus dikonsolidasikan untuk melakukan pengawasan. Memastikan Pilpres 2024 berjalan dengan demokratis, diaman prasyaratnya pemerintah harus netral. Penguatan peran Civil Sociaty disini sangat penting untuk mengawasi proses demokrasi Pilpres berjalan baik," tandas Sirra.
[Redaktur : Robert Panggabean]